Perkembangan Perbankan Di Indonesia
Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang
keuangan dan memiliki cerita sejarah
sendiri atas jatuh bangunya perbankan di Indonesia.
Sekilas sejarah ringkas perbankan di Indonesia :
TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian
bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling
suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat,
sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi
ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.
Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis
terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja.
Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata
menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak
pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang
sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam
tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat,
dunia usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan
sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas
ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang
yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang
terparah di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya
berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998
dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial
kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total
yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor
apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden
Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa
hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek bola salju
Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah
menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan
Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan,
sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar
negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam
50 tahun terakhir.
Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang
mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang
swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS
akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa
tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah
yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan
cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau
terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14
Agustus1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya
permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap
angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak
realistis.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar
pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum
pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen
lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini,
jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50
persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako
dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155
dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi
610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999
jika ekonomi tak segera membaik.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas
anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor
nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali
dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan
perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa
menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat
pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di
tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF
Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum
akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena
memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan
IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah
untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir
lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intentketiga ditandatangani. Akan tetapi
kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau
kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya
terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan
pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan
gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan
berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya
Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam
skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para
pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya
pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di
Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki
legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak
banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan
cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga
1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang
tahun 1998.*
Era Bank-bank Bangkrut
INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu
hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun
1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah
telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah,
menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang
dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi
bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian,
jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang
menjadi kronis.
Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa
karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah
warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong
melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan
tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi
beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga
kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya
terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan,
bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang
disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan
modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan.
Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri,
terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan
sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan
internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah
membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada
di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional
adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham
bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas
saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya,
sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan
perbankan.
Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang,
tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok
itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori
B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah
negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan
penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan
modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari
memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300
trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk
dipenuhi.
-------------------------------------------------------
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya,
kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak
bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas
perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan
seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas
waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu
tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan,
pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas
bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan
kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa
membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia
perbankan.
Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus
bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak
langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh.
Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang
muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan
bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum
memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia
perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan
perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
-------------------------------------------------------
PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar,
tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan,
apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial
terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi
sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di
tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional
berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan
kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan
berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat
pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka
dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang
kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia
yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta
demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan
ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat,
adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.
Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak
serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun
bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan
kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman
masih sering terjadi.
-------------------------------------------------------
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik,
rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional
tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu
harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.
Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang
demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa
dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan
datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan
yang sekarang.
Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi
terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan
ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi
perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil.
Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu,
pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent,
dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN
harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak
akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan
swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri
krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung
dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan
investor enggan masuk ke Indonesia.
Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular
-------------------------------------------------------
Krisisi Moneter (Krismon) yang menerap Indonesia pada 1997-1998 lalu menyebabkan 16 bank dinyatakan bangkrut oleh Bank Indonesia (BI). Namun hingga kini proses likuidasi 16 bank tersebut hingga kini belum kunjung usai.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara menilai ketidakjelasan nasib likuidasi belasan bank tersebut terjadi akibat belum adanya Undang-undang LPS.
"Pada waktu itu belum ada Undang-Undang, dulu tahun 1997 itu masih memakai PP tentang liquidasi, karena kan waktu 1997-1998 kan belum ada LPS," ungkap Mirza di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (24/9/2013).
Mirza menjelaskan 16 Bank saat itu masih menjadi wewenang Bank Indonesia (BI) dan nasibnya hingga saat ini masih ditangani oleh BI.
Berkaca dari pengalaman tersebut, pemerintah pun memutuskan mendirikan LPS pada 2005 yang salah satu perannya adalah mengeksekusi bank gagal lebih cepat.
Awal terjadinya krisis perbankan secara umum juga dapat dijelaskan oleh perilaku perbankan yang cenderung agresif pada saat sebelum krisis. Fenomena ini ditandai oleh pertumbuhan pinjaman per jumlah deposito (LDR) yang mencapai tingkat yang cukup tinggi pada saat itu. Pada tahun 1996 tingkat LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan mencapai 78.62, dan nilai ini terus meningkat di tahun 1997 pada posisi 86.42. Namun tingkat LDR perbankan tanah air mengalami tren yang menurun sejak terjadinya krisis nilai tukar yang mempengaruhi performa keuangan bank secara umum.
-------------------------------------------------------
Kondisi Perbankan Saat Ini.
Bank Indonesia (BI) telah merampungkan seluruh proses yang dibutuhkan untuk peralihan pengawasan perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013. BI juga memastikan industri perbankan saat ini berada dalam kondisi yang sehat.
Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, proses persiapan pengalihan fungsi pengawasan, perizinan, dan pengaturan perbankan dari BI ke OJK sudah sepenuhnya rampung. “Kami siap untuk mengalihkan fungsi pengawasan, perizinan, dan pengaturan bank ke OJK pada 31 Desember nanti. Persiapannya sudah 100% rampung. Yang perlu kita syukuri, saat pengalihan ke OJK, kondisi industri perbankan tetap sehat,” ujar Agus di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Agus, kondisi perbankan yang sehat tersebut tercermin pada pertumbuhan kredit yang semula mengkawatirkan karena berada di atas 25%, saat ini sudah menurun pada kisaran 20%. Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) berada dalam kondisi yang rendah, yakni pada kisaran 1%. “Rasio kecukupan modal perbankan di Indonesia, ada di level 18%. Rasio return on asset (ROA) sekitar 3%. Industri perbankan baik serta sehat, dan pengawasannya akan dialihkan sesuai dengan amanat undang-undang,” ungkap dia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan, kondisi perbankan tersebut jauh lebih baik dibandingkan kondisi perbankan pada 2001 pascarekapitulasi industri perbankan. Ketika itu, menurut Halim, rasio kecukupan modal perbankan berada pada kisaran 20-21%. “Kondisi rasio kecukupan modalnya saat itu ada di 20-21%, dalam tempo 12 tahun sampai 2013, itu terjadi ekspansi yang tinggi di perbankan Indonesia. Tapi kecukupan modal bank (CAR) bisa dijaga di level 18%. Ini salah satu bukti bank kita sehat,” ungkap dia
Sumber: http://sliazor.wordpress.com/2012/03/10/perkembangan-perbankan-di-indonesia/
Sumber: http://bisnis.liputan6.com/read/701516/nasib-16-bank-korban-krismon-98-masih-misterius
Sumber: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm
Sumber: http://diassatria.lecture.ub.ac.id/2013/06/660/
Sumber: http://www.investor.co.id/home/bi-pastikan-industri-perbankan-dalam-kondisi-sehat/75039